SukabumiBerita.com—Pasangan Calon Nomor Urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka bakal memisahkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Kemudian membentuk Badan Penerimaan Negara untuk meningkatkan penerimaan pajak. Badan Penerimaan Negara ini akan berada langsung di bawah presiden.
Hal tersebut disampaikan Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo. “Iya jadi (pisah DJP dan DJBC dari Kemenkeu),” kata Drajad kepada wartawan Minggu (18/2/2024) seperti dilansir PajakOnline.
Pemisahan tersebut dilakukan jika Prabowo-Gibran jadi dilantik menjadi presiden-wakil presiden 2024-2029. Drajad mengatakan, pemisahan DJP dan DJBC dari Kemenkeu akan dilakukan lewat pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) yang akan berada langsung di bawah presiden.
“Pembentukan BPN itu menjadi salah satu dari 8 Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) Prabowo-Gibran,” ungkap Drajad.
Rencana Prabowo-Gibran membentuk BPN sudah tercantum dalam dokumen Visi Misi dan Program Kerja. Namun, program tersebut diakui tidak bisa terealisasi dengan cepat karena perlu persiapan bahkan jika perlu sejak transisi pemerintahan.
Selama penyiapan peraturan, persiapan dan proses pra-transisi kelembagaan akan mulai dijalankan. Pra-transisi ini maksudnya desain kelembagaan dimatangkan dan untuk sementara masih dalam bingkai Kemenkeu.
Sebelumnya, Gibran mengatakan BPN harus dibentuk untuk meningkatkan penerimaan negara guna membiayai kebutuhan pembangunan yang besar. DJP dan DJBC akan dilebur dan dipisah dari Kemenkeu.
“Kami akan membentuk Badan Penerimaan Negara yang dikomandoi langsung presiden, sehingga mempermudah kementerian-kementerian terkait. DJP dan Bea Cukai akan dilebur jadi satu, fokus ke penerimaan negara saja, tidak lagi akan mengurusi masalah pengeluaran,” kata Gibran dalam Debat Kedua Pemilu 2024 di JCC Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (22/12/2023).
Sementara itu, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan, sisi positif dua lembaga tersebut dipisah dari Kemenkeu, yakni memberikan kewenangan yang lebih luas bagi pengambil kebijakan perpajakan dan kebijakan cukai. Misalnya jika mau menerapkan pajak karbon, maka bisa langsung dieksekusi.
“Kemudian mau kejar pajak kekayaan juga bisa lebih cepat masuk kantong penerimaan negara. Apalagi mau kejar rasio pajak 18-25% di 2045 dan Indonesia mau jadi negara anggota OECD yang rasio pajaknya tinggi butuh lembaga perpajakan yang superpower,” katanya.
Selain itu, perluasan objek kena cukai seperti cukai plastik, minuman berpemanis, dan 5 barang kena cukai baru lainnya tidak perlu menunggu lama.
“Koordinasi DJP-Bea Cukai dengan lintas lembaga jadi lebih fleksibel dan langsung dibawah presiden sehingga kuat posisinya. Bahkan DJP bisa langsung diskusi dengan DPR soal strategi perpajakan dan target pajak,” katanya. Kelemahannya, menurut Bhima, proses pemisahan butuh waktu tidak sebentar.